"Keterbukaan ini akan menepis tudingan terutama kelompok penentang sawit bahwa tidak semua sawit Indonesia buruk. Faktanya, jauh lebih banyak sawit Indonesia yang baik dibandingkan dengan yang buruk karena telah bersertifikasi ISPO," kata Herry.
Selain keterbukaan, pemerintah dan pemangku kepentingan perlu membangun dialog dengan melibatkan semua pihak, termasuk kelompok penentang sawit. Tujuannya agar setiap kekurangan bisa diperbaiki dan diawasi bersama termasuk perbaikan lingkungan.
Dialog bersama itu juga harus positif, konstruktif dan transparan serta memahami latar belakang budaya Eropa. Pasalnya, bagi masyarakat Eropa lingkungan bukan hanya sekedar regulasi, tetapi harus ditaati.
"Keterbukaan dan dialog akan melahirkan persepektif baru bahwa sawit dan konservasi bisa sejalan. Keduanya sama penting, tanpa harus meniadakan kepentingan satu dan hanya menonjolkan yang lain," kata Herry.
Masyarakat Eropa, umumnya sangat menghargai dialog yang tranparan, komitmen dan proses perbaikan yang terus dilakukan Indonesia.
"Dalam setiap forum lobby, Pemerintah harus terbuka menjelaskan berbagai perbaikan terkait kawasan hutan termasuk persoalan tumpang tindih lahan agar tidak menjadi polemik panjang. Peran Kementerian ATR/BPN sangat vital dalam menjelaskan batas-batas kawasan dalam regulasi yang diterapkan di Indonesia," kata Herry.
Herry menyayangkan, selama ini banyak forum dialog yang terbangun hanya berdasarkan kepentingan satu pihak. Akibatnya lahir dikotomi sawit akan menghabisi hutan dan disisi lain konsevasi tidak memerlukan sawit.
"Faktanya keduanya saling membutuhkan. Sawit perlu air dari hutan dan konservasi serta masyarakat yang bermukim di kawasan hutan memerlukan dana yang berasal dari pembangunan ekonomi salah satunya sawit," kata Herry.
Diakui Uni Eropa