PEKANBARU-Tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau akhirnya berhasil mendatangkan Rahman, mantan Direktur Utama (Dirut) Sarana Pembangunan Rokan Hilir (SPRH) untuk menjalani pemeriksaan. Dia dijemput paksa, lalu diperoleh hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Adapun perkara yang menjeratnya adalah dugaan korupsi pengelolaan dana Participating Interest (PI) 10 persen dari PT Pertamina Hulu Rokan periode 2023-2024 senilai Rp551 miliar lebih. Perkara tersebut telah masuk dalam tahap penyidikan sejak 11 Juni 2025.
Dalam perkara ini, Rahman telah beberapa kali dipanggil untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Namun surat panggilan itu tidak diindahkannya. Rahman akhirnya bisa diperiksa setelah dijemput tim penyidik.
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Riau, Marlambson Carel Williams, menjelaskan bahwa Rahman dibawa berdasarkan surat perintah membawa. Rahman dijemput dari Terminal Penumpang Bandar Sri Junjungan, Jalan Datuk Laksamana, Buluh Kasap, Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai pada Minggu (14/9) sekitar pukul 14.54 WIB.
"Setelah dibawa, yang bersangkutan kami bawa ke Kejaksaan Tinggi Riau. Tiba sekitar pukul 17.00 WIB dan langsung dilakukan pemeriksaan selaku saksi terlebih dahulu," ujar Marlambson didampingi Kepala Seksi (Kasi) Penyidikan, Rionov Oktana Sembiring, Kasi Pengendalian Operasi (Dalops), Herlina Samosir dan Kasi Penerangan Hukum (Penkum) dan Humas, Zikrullah, Senin (15/9).
Pemeriksaan berlanjut hingga keesokan harinya. Selanjutnya, tim penyidik melakukan pemaparan atau ekspos bersama Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Kejati Riau, Dedie Tri Hariyadi. Hasilnya, Rahman ditetapkan sebagai tersangka.
"Keesokan harinya, tanggal 15 September 2025, dilakukan penahanan selama 20 hari di Rutan Kelas I Pekanbaru berdasarkan Surat Perintah Penahanan Plt Kepala Kejati Riau," tegas Carel.
Marlambson mengungkapkan, Rahman sebelumnya sempat beberapa kali mangkir dari panggilan penyidik. Di hadapan penyidik, Rahman menyampaikan alasan ketidakhadirannya itu.
"Alasan yang bersangkutan, pertama karena sakit, dan kedua karena ada kegiatan di luar kota, baik di Jakarta maupun di Medan," jelasnya.
Terkait adanya indikasi kabur, Marlambson menegaskan hingga kini penyidik belum menemukan fakta tersebut. "Sejauh ini kami belum mendapatkan fakta adanya indikasi kabur. Namun, dalam pemeriksaan (sebagai) saksi, RN (Rahman,red) masih kooperatif dan kami harapkan dapat membantu perkembangan penyidikan berikutnya," tambahnya.
Ditanya soal pengakuan tersangka mengenai aliran dana, Marlambson menyebut sudah ada keterangan yang didapatkan. “Alhamdulillah, sejauh ini kooperatif,” katanya singkat.
Ke depan, Kejati Riau akan terus melakukan pemeriksaan terhadap para saksi lain serta mengumpulkan alat bukti sesuai dengan KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Itu masih dalam pengembangan, didukung dengan alat bukti dan lainnya," tutup Marlambson.
Dalam perkara itu, Rahman dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam proses penyidikan, sejumlah saksi telah dimintai keterangan, termasuk sejumlah petinggi di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Rohil itu. Pemeriksaan juga telah dilakukan terhadap mantan Bupati Rohil, Afrizal Sintong.
Sebelumnya, Kejati Riau juga telah melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi di Kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir. Salah satunya dilakukan pada Rabu (2/7), di Kantor PT SPRH dan beberapa rumah milik mantan direksi perusahaan tersebut.
Dari penggeledahan itu, Tim Penyidik Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Riau berhasil menemukan dan menyita sejumlah dokumen yang berkaitan dengan perkara yang sedang diselidiki.
Pengusutan perkara ini telah dimulai sejak beberapa waktu lalu dalam tahap penyelidikan. Setelah ditemukan indikasi tindak pidana, statusnya ditingkatkan ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Nomor: PRINT-06/L.4/Fd.1/06/2025 tertanggal 11 Juni 2025.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, dana PI senilai Rp551.473.883.895 diduga kuat tidak dikelola sesuai peruntukannya sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (***)
Hukrim