Minggu, 16 Feb 2025
  • Home
  • Nasional
  • Pemerintah Diminta Jangan Gegabah Tangani Kasus Pagar Laut

Nasional,

Pemerintah Diminta Jangan Gegabah Tangani Kasus Pagar Laut

PT.SPIRIT INTI MEDIA
Rabu, 29 Jan 2025 18:24
okezone.com

JAKARTA â€"  Pemerintah diminta untuk tidak gegabah dalam menangani persoalan pagar laut sepanjang 30,16 Kilometer di Tangerang, Banten. Sebab, kebijakan yang diambil bisa menjadi cerminan berdasarkan hukum atau hanya karena tekanan pihak tertentu.

"Kasus ini tidak hanya menjadi ujian bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tetapi juga menjadi cerminan apakah kebijakan negara mampu berdiri tegak di atas landasan hukum dan keadilan sosial, atau justru terombang-ambing oleh tekanan pihak tertentu," ujar pengamat hukum dan politik, Pieter C Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (29/1/2025).

Menurutnya, berbagai pertanyaan bermunculan setelah adanya penyegelan yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang dilanjutkan dengan ancaman pembongkaran dalam waktu 20 hari terhitung sejak 10 Januari 2025. Di mana, terjadi ketidaksepahaman saat Prabowo memerintahkan disegel dan dibongkar dan diterjunkan 600 personel TNI Angkatan Laut.

Sedangkan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono justru meminta pembongkaran ditunda dengan alasan perlunya kajian lebih mendalam. Zulkifli melihat kelemahan dalam koordinasi antarkementerian, kendati diakuinya Menteri KKP mendorong perlunya kehati-hatian dalam menindak persoalan yang dalangnya masih misterius itu.

Biaya yang dikeluarkan diperkirakan untuk membuat pagar laut juga tidak sedikit, bahkan estimasinya mencapai Rp1,5 miliar. Menurutnya, muncul juga banyak pertanyaan bagaimana bisa proyek sebesar itu luput dari pengawasan pemerintah.

Spekulasi bermunculan, yang mengaitkan dengan proyek perluasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kendati, diakui Zulkifli, hal tersebut telah dibantah.

"Namun, pihak pengembang telah membantah keterlibatan mereka," ujar mantan Ketua Komisi III DPR itu.

Munculnya SHGB dan SHM

Munculnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah tersebut menambah kegaduhan. Meskipun, setelah memeriksa dokumen yuridis, prosedur administrasi, dan kondisi fisik material tanah, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mencabutnya.

Sikap yang diambil Nusron mendapat apresiasi. Meski tak luput dari kritik karena dianggap emosional dan tak memahami sepenuhnya mengenai undang-undang. Dalam Pasal 1 Ayat (4)  Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, kata Zulkifli, definisi tanah meliputi permukaan bumi, tubuh bumi di bawahnya, serta yang berada di bawah kolom air.

Zulkifli mengatakan, bahwa dalam pasal tersebut mengartikan bahwa perairan pesisir maupun yang ada di danau atau sungai termasuk dalam definisi tanah.  Pada 1 Ayat (4) UUPA disebutkan, dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi yang di bawahnya serta yang berada di bawah air.

"Khusus untuk tanah yang berada di bawah kolom air, tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Spesifikasinya sebagai berikut, bila yang dimanfaatkan adalah kolom airnya maka masuk dalam regulasi  di wilayah otoritas Kementrian KKP untuk tingkat pusat, untuk tingkat daerah adalah  Bupati atau dinas terkait," ujarnya.

Kemudian, Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan yang mengatur pendirian, penempatan, dan/atau pembongkaran bangunan di laut memperkuat aturan tersebut. Sehingga, ia menilai perairan dapat disertifikatkan secara yuridis.

Pada Ayat (3) pasal a quo, dikatakan Zulkifli, dijelaskan secara rinci di atas dan atau di bawah permukaan laut secara menetap sebagaimana dimaksud Ayat (1) huruf b, yakni berupa mengapung di permukaan laut, berada di kolom air: dan atau berada di dasar laut. Sehingga, lanjut Zulkifli, ha katas perairan dapat disertifikatkan secara yuridis atau hukum.

"Artinya, langkah Nusron Wahid dalam mencabut sertifikat tanah di kawasan ini sangat berlebihan, alih-alih menimbulkan kontroversi. Sebagai pejabat publik, dia seharusnya berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berdampak luas," ujarnya.

Pihaknya mendorong Presiden Prabowo menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan hukum yang diperkuat dengan bukti. Selain itu, meminta agar tidak terpengaruh dengan berbagai opini yang berseliweran.

"Hukum menjadi sumber legitimasi kekuasaan, yang dijamin dalam konstitusi Negara Indonesia, yaitu UUD 1945," tegasnya.

Pemerintah harus memastikan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Zulkifli pun menukil pernyataan Baharudin Lopa yakni 'Banyak yang salah jalan tetapi merasa benar karena banyak teman suka melakukan kesalahan. Beranilah menjadi benar meskipun sendirian'.

"Di tengah berbagai spekulasi dan tekanan, pemerintah perlu mengambil langkah yang tidak hanya tegas tetapi juga bijaksana, demi menjaga kepercayaan publik dan memastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," pungkasnya.

Sumber: okezone.com

komentar Pembaca

Copyright © 2012 - 2025 www.spiritriau.com. All Rights Reserved.